TUGAS 6 : GANGGUAN KEJIWAAN PADA MANUSIA
TUGAS 6
GANGGUAN KEJIWAAN PADA MANUSIA
DISUSUN OLEH
:
NOVITA
RAMADINI
1PA09
14519847
JURUSAN
PSIKOLOGI
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
mengenai “Gangguan Kejiwaan Pada Manusia” . Makalah ini disusun dan dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Dalam penyusunan makalah, saya merasa masih banyak kekurangan dalam
pengerjaan makalah ini, baik dari susunan, kalimat, maupun dalam materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penyusun belum sempurna. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan
penyusunan makalah ini.
Akhir kata saya berharap dengan adanya makalah ini, bisa membantu pembaca
dan dapat memberikan manfaat maupun memberikan inspirasi terhadap pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Depok ,25 November 2019
Novita
Ramadini
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah...................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Jenis Gangguan Kejiwaan................................................................................... 3
2.2
Definisi Gangguan Kejiwaan.............................................................................. 3
2.2.1
Trikotilomnia............................................................................................. 3
2.2.2
PTSD......................................................................................................... 4
2.2.3
Skizorfenia
Paranoid................................................................................. 4
2.3
Karakteristik
atau Gejala..................................................................................... 5
2.3.1 Trikotilomania............................................................................................ 5
2.3.2
PTSD......................................................................................................... 6
2.3.3
Skizorfenia
Paranoid................................................................................. 6
2.4
Proses
Terjadi atau Penyebab Gangguan............................................................ 7
2.4.1 Trikotilomania............................................................................................ 7
2.4.2
PTSD......................................................................................................... 8
2.4.3
Skizorfenia
Paranoid................................................................................. 9
2.5
Dampak
Gangguan............................................................................................. 9
2.5.1 Trikotilomania............................................................................................ 9
2.5.2
PTSD......................................................................................................... 10
2.5.3
Skizorfenia
Paranoid................................................................................. 10
2.6
Alternatif
Penanggulangan Gangguan................................................................ 10
2.6.1 Trikotilomania............................................................................................ 10
2.6.2
PTSD......................................................................................................... 11
2.6.3
Skizorfenia
Paranoid................................................................................. 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan
jiwa adalah gangguan secara psikologis atau perilaku yang terjadi pada
seseorang, umumnya terkait dengan gangguan afektif, perilaku, kognitif dan perseptual.
Lebih dari sepertiga orang di kebanyakan negara pernah mengalami gangguan
kesehatan jiwa dalam perjalanan hidup mereka. Penyebab yang sering disampaikan
adalah stres subjektif atau biopsikososial (Insel dan Wang, 2010). Secara garis
besar penyebab gangguan jiwa dibagi menjadi tiga, yaitu faktor organobiologi,
psikoedukatif dan sosiodemografi. Faktor sosiodemografi meliputi umur, jenis
kelamin, kepadatan penduduk, pendididkan, status perkawinan, pekerjaan, ekonomi
keluarga dan persepsi peringkat sosial (Maramis, 2007).
Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2001 di
pelayanan kesehatan primer menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia
memiliki gangguan mental. Fakta lainnya adalah 25% penduduk diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan TBC (7,2%), kanker (5,8%),
jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Masalah gangguan jiwa dapat terus
meningkat jika tidak dilakukan penanganan (WHO, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari gangguan kejiwaan ini ?
2.
Bagaimana karakteristik atau gejalanya ?
3.
Bagaimana proses terjadi atau penyebabnya ?
4.
Apa dampak gangguan kejiwaan ini ?
5.
Bagaimana alternatif penanggulangannya ?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan definisi dari jenis gangguan
kejiwaan
2.
Menjelaskan karakteristik atau gejalanya
3.
Menjelaskan proses terjadi atau penyebabnya
4.
Mengetahui dampak dari gangguan kejiwaan
5.
Mengetahui alternatif penanggulangannya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis
Gangguan Kejiwaan
1. Trikotilomania
2. PTSD
3. Skizorfenia Paranoid
2.2 Definisi
Gangguan Kejiwaan
2.2.1
Trikotilomania
Trikotilomania adalah suatu kondisi kelainan
yang mana penderitanya memiliki dorongan yang tidak tertahankan untuk mencabuti
rambut sendiri. Karena tidak adanya kemampuan dalam mencegah diri untuk tidak
melakukan suatu perbuatan tertentu, maka trikotilomania termasuk kelompok
masalah psikologis yang disebut dengan gangguan pengendalian impuls
(impulse-control disorder). Pada umumnya kondisi ini paling banyak dialami oleh
perempuan dibandingkan laki-laki dan umumnya ditemukan pada usia remaja.
Trikotilomania yang biasa disebut
trikotilosis atau TTM didefiniskan sebagai penyakit psikologis saat penderita
memiliki keinginan tidak tertahankan untuk menarik rambut dari bagian-bagian
tubuh mereka sendiri. Tidak terbatas pada rambut kepala, penderita
trikotilomania acap kali merasakan kepuasan dan penurunan tingkat ketegangan
setelah mencabuti rambut di bagian-bagian tertentu tubuh mereka.
Mencabut rambut akan menyebabkan timbulnya
area botak, yang berusaha disamarkan oleh para penderita trikotilomania.
Seseorang biasanya mulai mencabut-cabut rambut saat awal remaja, namun ada pula
yang tidak. Jika penderitanya juga mengalami depresi, mencabut rambut dapat
menyebabkan penurunan fungsi pada situasi sosial dan pekerjaan.
Meskipun orang-orang dengan gangguan
kebiasaan ini mengetahui konsekuensinya, mereka tetap tidak dapat menahan diri
dari dorongan tersebut. Mereka akan menarik rambut ketika merasa tertekan
sebagai cara untuk menenangkan diri.
Tapi tidak semua penderita trikotilomania merasa senang atau lega
setelah mencabuti rambut. Beberapa di antaranya malah jadi merasa malu dengan
perilaku mereka dan merasa minder karena penampilan fisik mereka menjadi tidak
menarik.
2.2.2
PTSD
PTSD adalah
gangguan stres yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatis. Gangguan ini tidak langsung
muncul, namun biasanya baru terlihat beberapa lama setelah pengalaman itu
terjadi. PTSD, atau gangguan stres pasca trauma, dapat terjadi karena
pengalaman seperti kecelakaan, korban perang, korban bencana alam, orang yang
dikasihi meninggal, dan atau kejadian apapun yang dapat menciptakan trauma
mendalam pada korban. Seorang yang mengalami trauma, belum tentu mengalami PTSD
loh. Seseorang baru bisa dikatakan
mengalami PTSD ketika kejadian yang sudah lama terjadi masih terus mengganggunya
secara fisik maupun mental.
Wajar bila
seseorang merasa trauma karena sebuah kejadian. Namun ketika trauma ini nggak
sembuh-sembuh, dan dia jadi nggak stabil secara emosional, maka ia bisa
dibilang mengalami PTSD.Penelitian Rothbaum, et al. (Foa dan Rothbaum, 1998)
terhadap korban perkosaan menemukan bahwa dalam kurun waktu 2 minggu setelah
perkosaan, 94% diantara korban mengalami gejala PTSD. Setelah 35 hari, persentase
korban dengan gejala PTSD menurun menjadi 65% dan setelah 3 bulan turun lagi
menjadi 47%, sedangkan pengukuran pada kurun waktu setelah 6 – 9 bulan relatif
tidak terjadi perbedaan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Oleh karena itu, korban yang
belum move-on dan tidak menunjukkan peningkatan, bisa diduga mengalami gejala
PTSD kronik.
2.2.3
Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid adalah salah satu contoh tersering dari gangguan
mental. Skizofrenia merupakan salah satu tipe psikosis dimana pikiran tidak
sejalan dengan realita yang ada. Hal ini bisa mempengaruhi bagaimana cara
berpikir seseorang dan bagaimana ia berperilaku.
Penyakit
ini biasanya muncul di akhir masa remaja atau saat dewasa muda. Orang dengan
skizofrenia paranoid tidak bisa berpikir dengan rasional dan selalu mencurigai
segala sesuatu. Hal ini mengakibatkan ia sulit untuk melakukan pekerjaannya,
menjalin pertemanan, dan ia akan mengalami kesulitan untuk diajak pergi ke
dokter.
Meskipun penyakit ini merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup,
namun dengan mengkonsumsi obat – obatan dan adanya support (dukungan) dari
lingkungan sekitar bisa membantu menghilangkan gejala atau membuatnya lebih
mudah untuk hidup bersama - sama dengan orang lain.
2.3 Karakteristik atau Gejala
2.3.1
Trikotilomania
Tidak ada tes khusus yang digunakan dalam mendiagnosis
trikotilomania. Untuk mendiagnosis kondisi, dokter akan menanyakan gejala serta
memeriksa tanda yang muncul.
Berikut adalah gejala dan tanda yang muncul pada
penderita trikotilomania:
1. Mencabuti rambut secara berulang, baik rambut kepala,
alis, atau area lain.
2. Terasa puas dan lega setelah mencabut.
3. Memiliki semacam kebiasaan tertentu yang selalu
dilakukan sebelum mencabut rambut, misalnya memilih rambut yang akan dicabut.
4. Selalu tidak berhasil menahan dorongan untuk mencabut
rambut.
5. Memainkan atau menggesekan rambut yang telah dicabut
pada area tubuh tertentu, seperti wajah atau bibir.
6. Mengalami gangguan dan kesulitan dalam kehidupan
sosial.
7. Terdapat rasa cemas yang muncul sebelum mencabuti
rambut atau ketika menahan untuk tidak melakukannya.
Penderita trikotilomania juga terkadang mencungkil
kulitnya, mengigit kuku jari, dan menggigit bibir. Suka mencabut bulu yang ada
pada hewan, boneka, atau benda lain seperti baju, juga dapat menjadi tanda
trikotilomania.
Gejala trikotilomania dapat muncul
ketika penderita merasa tegang atau stres. Namun, kadang gejala juga bisa
muncul tanpa disadari.
2.3.2
PTSD
Gejala PTSD cenderung mengganggu
aktivitas sehari-hari, terutama dalam hubungan dengan orang lain serta
lingkungan kerja. Gejala yang muncul pada tiap pengidap bisa berbeda-beda. Ada
yang mengalaminya segera setelah kejadian dan ada juga yang muncul setelah
beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.
Secara umum, gejala PTSD bisa dikelompokkan ke dalam
lima jenis. Berikut ini adalah penjelasan serta contohnya.
1.
Ingatan
yang mengganggu, contohnya selalu mengingat detail mengerikan dari kejadian
tragis atau sering mimpi buruk tentang kejadian tersebut.
2.
Kecenderungan
untuk mengelak membicarakan atau memikirkan kejadian traumatis. Kondisi ini
ditunjukkan dengan menghindari tempat, kegiatan, atau oranng yang memicu
ingatan untuk kejadian traumatis.
3.
Pola
pikir yang berubah negatif. Pengidap PTSD cenderung memiliki perasaan negatif terhadap
diri sendiri atau orang lain, merasa terasing.
4.
Merasa
putus asa dalam menghadapi masa depan, memiliki masalah ingatan, termasuk
mengingat aspek pentingdari kejadian traumatis serta kesulitan membina hubungan
yang dekat dengan orang lain.
5.
Perubahan
emosi. Perubahan ini ditunjukkan dengan oerbedaan reaksi secara fisik
maupun emosi, seperti sulit berkonsentrasi, merasa sangat selalu waspada, mudah
terkejut dan takut, mudah kesal atau marah, serta sulit tidur.
Gejala PTSD ini dapat terjadi pada anak-anak serta orang
dewasa. Namun pada anak-anak, terdapat beberapa indikasi khusus yang juga harus
diwaspadai. Indikasi tersebut meliputi sering melakukan reka ulang
kejadian tragis melalui permainan, mengompol, serta sangat gelisah saat
berpisah dengan orang tua.
2.3.3
Skizofrenia Paranoid
Gejala utama skizofrenia paranoid
adalah delusi (waham) dan halusinasi. Delusi atau waham merupakan keyakinan
kuat akan suatu hal yang salah, serta hal tersebut tidak dapat dibantah oleh
bukti apapun. Terdapat berbagai macam waham yang bisa muncul pada penderita
skizofrenia, yaitu:
1.
Waham kendali. Yaitu
kepercayaan bahwa penderita sedang dikendalikan oleh suatu hal, seperti oleh
alien ataupun pemerintah.
2.
Waham kejar. Yaitu
kepercayaan bahwa penderita sedang dikejar-kejar oleh seseorang atau banyak
orang.
3.
Waham rujukan. Yaitu
kepercayaan bahwa penderita memiliki suatu benda penting yang ditujukan khusus
untuk dirinya.
4.
Waham kebesaran. Yaitu
kepercayaan bahwa penderita memiliki kemampuan luar biasa, posisi penting, atau
kekayaan tidak terbatas.
Khusus bagi penderita skizofrenia paranoid, waham yang
paling dominan muncul adalah waham kejar. Waham kejar atau persekusi pada
penderita skizofrenia paranoid merupakan cerminan dari rasa takut dan kecemasan
yang besar, serta cerminan dari kehilangan kemampuan untuk membedakan hal yang
nyata dan tidak nyata. Gejala waham kejar yang dapat dialami oleh penderita
skizofrenia paranoid, antara lain adalah:
1.
Merasa
pemerintah sedang memata-matai aktivitas sehari-hari dirinya.
2.
Merasa
orang sekitar sedang bersekongkol untuk mencelakakan dirinya.
3.
Merasa
teman-teman atau orang terdekat mencoba membunuh dirinya, misalnya seperti
merasa ada yang memasukkan racun ke dalam makanannya.
4.
Merasa
pasangannya sedang berselingkuh.
2.4
Proses Terjadi atau Penyebab Gangguan
2.4.1 Trikotilomania
Penyebab pasti trikotilomania masih belum diketahui.
Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memicu timbulnya
trikotilomania, yakni:
1. Memiliki kebiasaan buruk lainnya, seperti mengisap
jempol.
3. Memiliki penyakit yang disebabkan gangguan sistem
saraf, seperti penyakit Parkinson atau demensia.
4. Kelainan struktur dan metabolisme otak.
5. Terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat
trikotilomania atau gangguan mental lainnya.
6. Anak-anak yang menjelang remaja (10-13 tahun) adalah
yang paling berpotensi menderita kondisi ini.
7. Memiliki permasalahan mental lain, seperti gangguan
obsesif kompulsif (OCD).
2.4.2
PTSD
Timbulnya PTSD diduga dapat dipicu oleh salah satu
atau beberapa faktor di bawah ini, di antaranya: Pernah mengalami peristiwa
trauma lain, misalnya penyiksaan saat masa kecil.
1. Mengidap gangguan mental lain.
2. Mengalami trauma jangka panjang.
3. Memiliki anggota keluarga yang mengidap PTSD atau
gangguan mental lain.
4. Memiliki profesi yang berpotensi menyebabkan seseorang
untuk mengalami kejadian traumatis, misalnya tentara.
5. Kurang dukungan dari keluarga dan teman.
Hingga saat ini, penyebab pasti PTSD belum diketahui
secara pasti. Kendati demikian, terdapat dugaan tentang beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma ini, yaitu:
1. Tingkat
hormon stres yang tidak normal.
Dalam keadaan bahaya, tubuh mengeluarkan hormon stres adrenalin untuk memicu
reaksi dari dalam tubuh. Reaksi tersebut berupa melawan atau menghindar guna
mengatasi bahaya atau rasa sakit. Dalam kondisi PTSD, kadar hormon stres yang
dikeluarkan sangat tinggi meski kondisi sebenarnya tidak membahayakan. Hal
tersebut terjadi karena terpicu emosi yang dibangkitkan dari pengalaman
traumatis.
2. Mekanisme
perlindungan diri. Dalam kondisi PTSD, ingatan traumatis membuat kita bereaksi terlalu cepat
sebagai upaya perlndungan diri. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
terjadinya bahaya kembali di lain waktu.
3. Anatomi
otak yang tidak normal. Saat mengalami PTSD, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap ingatan
dan emosi (hipokampus) terlihat berukuran lebih kecil dibanding bagian otak
lain. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan meningkatnya kegelisahan dan
ketakutan. Fungsi hipokampus yang tidak dapat berjalan semestinya membuat
tingkat kegelisahaan atau ketakutan tidak berkurang seiring waktu.
2.4.3
Skizofrenia Paranoid :
Hingga saat ini penyebab munculnya skizofrenia
paranoid pada seseorang belum diketahui dengan pasti. Namun diduga kelainan
pada otak dan sistem transmisi saraf, serta kelainan sistem kekebalan tubuh
berperan dalam menimbulkan skizofrenia.
Beberapa faktor yang diduga dapat memicu terjadinya skizofrenia pada
seseorang, antara lain adalah:
1. Riwayat skizofrenia pada anggota keluarga lainnya.
2. Terkena infeksi virus pada waktu masih dalam
kandungan.
3. Mengalami perlakuan tidak baik pada waktu masih kecil.
4. Mengalami perceraian orang tua pada waktu masih kecil.
5. Kekurangan oksigen pada waktu kelahiran.
2.5
Dampak Gangguan
2.5.1
Trikotilomania :
Apabila trikotilomania tidak mendapatkan
terapi yang tepat, penderitanya dapat mengalami komplikasi berupa:
1. Gangguan dalam hidup bersosial. Beberapa penderita trikotilomania merasakan
malu, depresi, dan cemas berlebih, yang pada akhirnya akan berdampak pada
kepercayaan diri dalam hidup bersosial.
2.
Kulit rusak. Sering mencabuti rambut berpotensi
menyebabkan luka, kerusakan kulit, dan infeksi kulit.
3. Sindrom
Rapunzel. Trikotilomania
dapat menjadi awal mula seseorang menderita sindrom Rapunzel. Sindrom Rapunzel
adalah kondisi langka, di mana penderita memiliki keinginan yang kuat untuk
memakan rambutnya sendiri. Ketika pasien trikotilomania memiliki kebiasan memakan
rambutnya, hal itu juga akan menyebabkan rambut bergumpal dalam saluran cerna
dan membuat kondisi semakin memburuk. Pada akhirnya, gumpalan rambut tersebut
akan mengganggu fungsi saluran cerna dan menyebabkan muntah, turun berat badan,
bahkan kematian.
2.5.2
PTSD
Apabila trikotilomania tidak mendapatkan terapi yang tepat, penderitanya
dapat mengalami komplikasi berupa:
1.
Gangguan dalam hidup bersosial. Beberapa penderita trikotilomania merasakan malu, depresi, dan cemas
berlebih, yang pada akhirnya akan berdampak pada kepercayaan diri dalam hidup
bersosial.
2.
Kulit rusak.
Sering mencabuti rambut berpotensi menyebabkan luka, kerusakan kulit, dan
infeksi kulit.
3.
Sindrom Rapunzel. Trikotilomania dapat menjadi awal mula seseorang menderita sindrom
Rapunzel. Sindrom Rapunzel adalah kondisi langka, di mana penderita memiliki
keinginan yang kuat untuk memakan rambutnya sendiri. Ketika pasien
trikotilomania memiliki kebiasan memakan rambutnya, hal itu juga akan
menyebabkan rambut bergumpal dalam saluran cerna dan membuat kondisi semakin
memburuk. Pada akhirnya, gumpalan rambut tersebut akan mengganggu fungsi
saluran cerna dan menyebabkan muntah, turun berat badan, bahkan kematian.
2.5.3
Skizofrenia Paranoid
Jika
tidak ditangani dengan baik, skizofrenia paranoid dapat menimbulkan komplikasi,
seperti:
1.
Kecanduan alkohol.
2.
Kecanduan narkoba.
3.
Depresi.
4.
Gangguan cemas.
5.
Menyakiti diri sendiri.
6.
Bunuh diri.
Selain itu, penderita skizofrenia paranoid
yang tidak ditangani dengan baik memiliki risiko tinggi untuk menjadi
pengangguran atau bahkan gelandangan.
2.6
Alternatif Penanggulangan Gangguan
2.6.1
Trikotilomania
Dalam mengobati trikotilomania, pasien dianjurkan
untuk melakukan terapi dengan psikiater. Pengobatan trikotilomania akan
terfokus pada perubahan perilaku. Pada dasarnya, trikotilomania diatasi dengan
mengalihkan tindakan mencabut rambut tersebut menjadi suatu aktivitas yang
tidak berdampak buruk.
Pasien diharapkan mengamati, serta mengidentifikasi
kapan dan di mana biasanya dorongan untuk mencabut rambut muncul. Kemudian,
pasien akan diarahkan untuk bisa menenangkan diri ketika dorongan tersebut
muncul, dan menggantinya dengan aktivitas lain agar dorongan mencabut rambut
teralihkan dan hilang. Beberapa cara yang
biasanya dilakukan penderita trikotilomania dalam mengalihkan dorongan
meliputi:
1.
Meremas stress ball atau benda sejenis.
2.
Mengucapkan atau meneriakkan suatu kalimat atau
kata secara berulang, sehingga menjadi dorongan untuk tidak mencabut rambut.
3.
Mandi atau berendam dengan suasana yang
menenangkan untuk meredakan perasaan gelisah atau cemas yang muncul.
4.
Belajar teknik pernapasan yang bermanfaat
menenangkan dan meredakan gejala ketika kambuh.
5.
Rutin berolahraga.
6.
Memotong rambut menjadi pendek.
7.
Memainkan alat yang dapat mengalihkan
kegelisahan, seperti fidget cube.
Selain itu,
obat-obatan antidepresan golongan serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga
dapat digunakan untuk meredakan gejala trikotilomania. Obat-obatan tersebut
dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dikombinasikan dengan obat
antipsikotik, seperti olanzapine dan aripiprazole. Dosis penggunaan obat SSRI
pada tiap pasien berbeda-beda, tergantung usia dan keparahan kondisi.
Konsultasikan dengan dokter sebelum menggunakan obat.
2.6.2
PTSD
Pada sebagian besar kasus PTSD, gejala dapat membaik
setelah beberapa minggu tanpa penanganan khusus. Tetapi, lain halnya bagi
pasien dengan gejala yang bertambah parah. Pasien-pasien tersebut membutuhkan
langkah penanganan lebih lanjut, yaitu kombinasi terapi psikologis dan pemberian
obat.
Kombinasi penanganan diharapkan dapat mengatasi gejala
dengan mempelajari cara mengatasi keadaan, memperbaiki pola pikir tentang diri
sendiri dan orang lain, mengatasi masalah yang berkaitan dengan pengalaman masa
lalu, serta cara menghadapi gejala yang diderita atau gejala yang dapat muncul
kembali.
Terapi psikologi yang diberikan meliputi:
1. Terapi perilaku
kognitif atau cognitive behavioural threapy (CBT). Terapi yang biasanya
dilakukan sebanyak 8 hingga 12 sesi ini bertujuan mengatasi masalah yang
dihadapi dengan mengubah cara pikir dan bertindak.
2. Terapi desensitisasi
gerakan mata dan pemrosesan ulang atau eye movement desensitisation and
reprocessing (EMDR). Terapi dengan menggerakkan mata ke samping
mengikuti gerakan tangan terapis ini bertujuan meredakan gejala PTSD. Meski demikian, belum diketahui secara jelas
bagaimana cara terapi ini dapat mengatasi gejala PTSD.
3. Terapi penyingkapan
(exposure therapy). Terapi ini bertujuan membantu pasien menghadapi
keadaan secara efektif setelah mengalami peristiwa traumatis.
4. Terapi kelompok. Terapi ini bertujuan
untuk mengatasi gejala PTSD pada diri pasien dengan cara membicarakan
pengalaman traumatis bersama orang-orang lain dalam suatu kelompok yang
memiliki pengalaman atau masalah serupa.
Sedangkan obat-obatan yang biasanya diresepkan
oleh dokter dalam kasus PSTD meliputi:
1. Antidepresan. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah sulit tidur dan meningkatkan konsentrasi. Antidepresan biasanya diberikan pada
pasien berusia 18 tahun ke atas dalam
jangka waktu 12 bulan sebelum dikurangi secara bertahap selama kira-kira 4
minggu. Contoh obat antidepresan adalah mirtazapine, amitriptyline, dan
phenelzine.
2. Prazosin. Obat ini diberikan
untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan insomnia akibat mimpi buruk
berulang.
3. Antiansietas. Obat ini diberikan
untuk mengurangi rasa cemas pada penderita PTSD. Obat antiansietas biasanya
hanya diberikan dalam jangka waktu yang pendek mengingat rentan disalahgunakan.
Perubahan suasana hati akan terlihat setelah pemberian obat-obatan selama
beberapa minggu.
2.6.3
Skizofrenia Paranoid
Pengobatan skizofrenia paranoid memerlukan kombinasi
dari berbagai bidang, seperti dokter, terutama psikiater, perawat, pekerja
sosial, dan konselor atau terapis. Integrasi pengobatan pasien skizofrenia
paranoid ini bertujuan agar pengobatan jangka panjang pasien dapat berjalan
dengan baik dan sukses. Pengobatan dan perawatan pasien skizofrenia dapat
dilakukan di rumah. Akan tetapi, jika gejala skizofrenia yang muncul tidak
terkontrol dengan obat-obatan yang rutin dikonsumsi dan dianggap membahayakan,
pasien dapat dirawat di rumah sakit.
Pasien umumnya diberikan obat-obatan antispikotik
untuk meredakan gejala-gejala skizofrenia seperti delusi dan halusinasi. Dokter
akan memantau efektivitas obat-obatan antipsikotik beserta dosisnya dalam
meredakan gejala skizofrenia pada pasien. Perlu diketahui, obat antipsikotik
yang diberikan tidak langsung bekerja, membutuhkan waktu sekitar 3-6 minggu
untuk melihat efeknya. Terkadang, bahkan dapat mencapai 12 minggu.
Belum ada penelitian yang mengatakan pilihan obat
antipsikotik yang paling tepat untuk skizofrenia. Selain efektivitas, perlu
dipertimbangkan efek samping yang mungkin timbul akibat konsumsi antipsikotik.
Obat antipsikotik yang saat ini digunakan dibedakan menjadi obat antipsikotik
generasi pertama (tipikal) dan antipsikotik generasi kedua (atipikal). Obat antipsikotik generasi pertama yang
dapat diberikan kepada pasien skizofrenia paranoid, antara lain adalah:
1.
Chlorpromazine.
2.
Haloperidol.
3.
Fluphenazine.
4.
Perphenazine.
5.
Trifluoperazine.
Efek samping yang dapat timbul
dari obat-obatan antipsikotik generasi pertama yang sering terjadi adalah:
1.
Mulut kering.
2.
Kaku.
3.
Pergerakan menjadi lambat.
4.
Otot lemas.
5.
Tremor.
6.
Gerakan berulang.
7.
Gerakan tidak terkontrol.
Obat-obatan antipsikotik generasi kedua memiliki efek samping seperti di
atas yang lebih ringan, namun seringkali menimbulkan kenaikan berat badan. Contoh obat antipsikotik generasi kedua,
antara lain adalah:
1.
Clozapine.
2.
Asenapine.
3.
Paliperidone.
4.
Olanazapine.
5.
Risperidone.
6.
Quetiapine.
Penderita skizofrenia paranoid juga dapat mengikuti
terapi kelompok dan terapi psikososial. Terapi kelompok bermanfaat bagi
penderita skizofrenia. Dengan dirinya duduk bersama dengan orang-orang yang
juga menderita skizofrenia, dapat menghindarkan penderita dari perasaan
terisolasi. Sedangkan terapi psikososial bertujuan agar pasien dapat tetap
beraktivitas sehari-hari seperti biasa, meskipun menderita skizofrenia.
Beberapa hal lain yang dianjurkan
untuk dilakukan oleh penderita skizofrenia adalah:
1.
Tidur dengan cukup. Kurang tidur dapat
memperparah gejala paranoid, delusi, dan halusinasi pada penderita skizofrenia.
2.
Olahraga teratur. Olahraga juga dapat
meningkatkan serotonin dalam tubuh yang memicu perasaan senang pada penderita.
3.
Mengatur tingkat stres. Sebaiknya hindari
situasi yang meningkatkan stres dan kecemasan. Luangkan waktu untuk
berelaksasi, seperti membaca buku, berjalan-jalan, dan meditasi.
4.
Menjaga interaksi sosial dan mengikuti aktivitas
yang melibatkan banyak orang. Aktivitas yang melibatkan banyak
orang dapat menghindarkan perasaan terisolasi pada penderita skizofrenia dan
mencegah gejala makin memburuk.
5.
Menghindari merokok, minum alkohol, atau
mengonsumsi obat-obatan terlarang.
Skizofrenia paranaoid merupakan gangguan yang biasanya
terjadi seumur hidup dan tidak dapat pulih sempurna. Namun dengan mendeteksi
gejala secara dini dan segera melakukan pengobatan, serta dukungan dari
lingkungan sekitar dapat membantu pasien skizofrenia paranoid untuk beradaptasi
dengan keadaannya
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Gangguan
jiwa adalah penyakit kronis yang tidak terjadi begitu saja. Gangguan jiwa bukan
disebabkan oleh hal – hal yang bersifat supranatural seperti santet dan diguna
– guna. Hingga saat ini belum ditemukan penyebab spesifik dari gangguan jiwa.
Akan tetapi, beberapa penelitian telah menunjukkan adanya bebrapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa seperti faktor pengalaman traumatis,
faktor biologis, faktor psikoedukasi. faktor koping, faktor stressor
psikososial, dan faktor pemahaman dan keyakinan agama seseorang.
3.2 SARAN
Bagi orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan ini
butuh di dampingi dan di dukung oleh orang-orang terdekatnya seperti keluarga
dan teman.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/ptsd, diakses pada tanggal 23 November 2019.
https://www.alodokter.com/skizofrenia-paranoid, diakses pada tanggal 23 November 2019.
https://www.alodokter.com/trikotilomania, diakses pada tanggal 23 November 2019.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/12-Mengenal-gejala-dan-penyebab-gangguan.pdf, diakses pada tanggal 23 November 2019.
http://eprints.ums.ac.id/48721/4/BAB%20I.pdf , diakses pada tanggal 24 November 2019.
https://www.google.co.id/amp/s/psikologihore.com/ptsd-adalah-post-traumatic-stress-disorder/amp/
, diakses pada tanggal 24 November 2019.
http://www.schoolpouringrights.com/health/penjelasan-tentang-trikotilomania-kebiasaan-buruk-mencabut-rambut/
, diakses pada tanggal 24 November 2019.
Comments
Post a Comment